Label

Selasa, 21 Juni 2011

cinta dua puluh tahun

Di malam yang dingin penuh kedamaian
Ku dengar seru nyanyian binatang alam
Seiring kelip bintang di hamparan awan
Dan jantungku yang tak berhenti berdetak
Mengantarkan jiwa ini hilangkan pilu hati
Bawaku terbang keatas langit bersama kecewaku
Dengan malaikat yang berkenan menerangi bumi
Namun sebuah kekosongan tetap selimuti hariku
Aku memimpikan sang dewi bersedia menemani
Tuk sekedar menghibur hati yang tenggelam dalam sedih
Tak lelahku pandangi langit, berjuta harap ku menanti
Gundah ini akan pergi, hilang atau terkurangi.
Seorang pria terduduk dalam kesepian yang dalam dan keheningan yang sangat. Di bangku taman kuliahnya yang ramai akan suara-suara kicau burung pagi nan merdu. Beserta suara ribut para mahasiswa yang lagi asyik dengan “aktifitas”nya bersama para dosen yang banyak menyuruh mereka dengan tugas yang banyak. Namun itu semua tak hilangkan akan kegundahan yang begitu menghujam dalam hati pria tersebut.
Nama pemuda itu adalah Satria, mahasiswa semester satu di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Bahasa Indonesia. Pemuda itu sangat melamunnya sehingga temannya yang sedari tadi mengawasinya ia tidak tahu. Dan temannya itu mengejutkannya, lalu sangkin terkejutnya Satria sampai-sampai ia pasang kuda-kuda tuk melawan.
“ah… gitu aja di seriusin segala!!!!”
“kau nich Ko. Lah wong lagi eank melamun malahan kau buyarkan”
“emangnya ada apa sich kaya’ penting benar lamunan itu”
“sebenarnya aku bukan melamun, tapi aku lagi sakit nich !!!!!” kata Satria membuat Eko mengerutkan dahinya, tak percaya
“emangnya sakit apa sich ?. tapi kau kelihatnnya baik-baik aja !!!!!” kata Eko penasaran sama temannya yang satu ini.
“sakit Ungu, kita kan bujang juga!!!!” kata Satria yang tambah membuat Eko semakin tak mengerti
“sakit Ungu, emangnya ada nama penyakit yang nama penyakitnya sakit Ungu????????” Tanya Eko heran.
“ada, Khan batu aku buat lima menit yang lalu saat aku ngelamun tadi!!!!!” kata Satria terkekeh akan guraunnya itu. Sedangkan Eko dan orang yang lainnya di dekat mereka hanya terdiam.
“ha kau nich, kirain kau sakit beneran malahan kau bercanda kaya’ gitu. Ga’ ada kerjaan kau nich !!!!!!” kata Eko marah akan gurauan Satria tadi.
“tapi sakit Ungu itu apa sich???” Tanya Eko menanyakan penyakit yang Satria buat tadi.
“oh itu namanya penyakitnya itu sakit JOMBLO hehe……” kata Satria tambah ketawa akan omongannya itu.
alah, Jomblo juga kaya’ ga’ pernah kena sakit kaya’ gitu aja. Jomblo itu Khan biasa bagi kita yang belum punya pacar”
“iya sich tapi kalau ngejomblo itu seumur hidup kita itu khan namanya bukan jomblo lagi tapi…….”
“jangan kau berpikiran kaya’ gitu dulu, tapi seharusnya kau cari dulu baru tahu kalau kau nich …..” kata Eko memotong perkataan Satria yang belum sempat selesai. Dan juga Eko tak sanggup kalau teman terbaiknya itu di sebut Bujang Tua.
“tapi aku sudah cari Ko. Tapi cinta tak pernah hadir dalam hati ini…” kata Satria mulai nangis karena ia sudah lama tidak berkenalan dengan yang namanya cinta. Karena rasa itu pernah ia alami sewaktu SMP dulu, dan hingga sekarang hingga ia kuliah ia tak pernah merasakan kasih saying cinta menyapa hatinya.
“tapi By The Way, umurmu berapa sich?, kaya’ udah tua benar” Tanya Eko penasaran pada temannya itu.
“dua dua. Dua puluh dua tahun, Ko”
“yang benar aja!!!!, kau khan baru semester satu, kok umurmu dua dua????” Tanya Eko tak percaya dengan perkataan temannya itu, yang baru dikenalnya saat ia dan Satria satu organisasi di kampusnya yaitu di bengkel sastra yang menampung karya sastra di kampusnya dari para mahasiswa yang berbakat. Walau mereka berbeda Fakultas.
“iya aku beneran nich. Karena aku khan nganggur dulu tiga tahun dulu untuk nyari kerja untuk tambah-tambah biaya masuk kuliah. Baru setelah itu, aku kuliah”
“tapi kelihatannya wajahmu tak setua umurmu, Sat?” Tanya Eko bercanda
“biasa aja kali…..”
“tapi kau mau kenalan sama cewek ga’?”
“iayalah mau, Ko. Soalnya aku Jomblo!”
“nah ini. Ada cewek Jomblo juga kabarnya. Tapi kita lihat dulu” kata Eko sambil menunjukkan sebuah foto bersama saat OSPEK kemarin.
“yang mana ceweknya, Ko???” Tanya Satria tak sabaran
“yang makai Jilbab sendirian itu, ceweknya”
“wah cantik juga tuh, tapi ia kuliah di kampus ini khan. Terus ia Fakultas apa dan juga kapan aku bisa kenalan sama cewek itu?????” bagai peluru yang keluar dari moncong senjata otomatis TNI, pertanyaan Satria yang di tujukannya pada cewek itu.
“sabar Sat nanti aku kenalin sama cewek itu nanti. Tapi karena aku udah laper, soalnya aku ga’ sarapan tadi pagi. Kita makan dulu di warung bakso di dekat tempat foto copi itu dulu” ajak Eko sama temannya agar lebih bersabar untuk kenalan sama cewek itu
“Oke dech. Tapi awas kau jika nanti ga’ di kenalin” ancam Satria sama Eko. Tapi hanya di jawab Eko dengan senyuman yang manis.
Lalu mereka pun pergi ketempat warung bakso itu. Dan mereka makan dengan lahapnya, karena mereka berdua sama-sama laper luar biasa. Tapi walau seperti itu Eko tetap tidak terlalu selapar apa perutnya ia tetap mengawasi jalannan dan tempat foto copi itu dengan seksama. Sedangkan Satria lahap dengan santapannya, bakso super campur mie.
Dengan kesigapan yang hebat Eko akhirnya menemukan yang ia cari dari tadi. Yaitu sesosok cewek berjilbab yang sedang ngantri foto copi. Lalu Eko menarik tangan Satria untuk memberi tahunya. Tapi Satria tetap makan lahap, malahan ia bergumam dengan nada kesal pada Eko yang berani mengganggu acara makannya. Tapi Eko tetap tak peduli dengan itu semua ia tetap menarik baju Satria, akhirnya satria juga nurut dengan apa yang temannya kerjakan.
Lalu Eko menunjukan apa yang ia tadi ributkan sama Satria. Satriapun terkejut juga akan pertunjukan ia lihat, yaitu ia melihat cewek dalam foto tadi sedang antri foto copi dekat warung bakso meeka makan. Sambil mulutnya berisi dengan mie dan bakso Satria menanyakan akan cewek itu.
“itu Ko ceweknya. Tapi kapan aku bisa kenalan dengan cewek itu, Ko”
“sabar dulu kenapa. Nanti habisi makanan kau dulu baru ngomong.”
Akhirnya Satria menuruti kata Eko barusan. Dan sewaktu Satria bangkit untuk mengejar cewek itu, ia di tahan Eko.
“kenapa sich Ko. Kamu marah yah sama aku mau dekatin cewek itu.” Kata Satria marah pada temannya itu.
“bukan kaya’ gitu nanti besok aja. Kalau sekarang nanti ia kabur dan mengira kita macam-macam, iya khan” kilah Eko dan menasihati Satria yang sedang mabuk cinta.
“baik besok tapi awas kalau ga’ nanti….” Kata Satria mengancam dengan tangan kanannya ia kepalkan dan di tinjunya tangan kirinya. Eko tidak jadi keder dengan itu malahan ketawa dengan gerakan Satria barusan.
Keesokan harinya Satria menjemput Eko di rumahnya, karena motor Eko lagi dipakai sama bapaknya yang lagi dinas keluar kota. Dan tanpa menunggu lama dan membuang-buang waktu akhirnya mereka tancap gas pergi menuju rumah cewek itu. Di perjalan Eko memberitahu Satria akan nama cewek itu yaitu Retno.
Dan sesampainya di depan gang yang menuju rumah Retno, mereka pun berhenti karena gang yang menuju rumah cewek itu sempit sekali. Dan dengan terpaksa mereka menitipkan motor Satria di tempat penitipan motor yang ada di depan gang itu.
“disini tempatnya?” Tanya Satria pada Eko sewaktu mereka berhenti di sebuah pintu kamar kos yang ada di ujung Gang itu.
“ya, disini tempatnya”
“tapi ga’ mungkin karena ….” Kata Satria tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“kau nich. Engga’ percaya terusan aja dari kemarin kaya’ aku bohong sama kau.” Bela Eko dengan tuduhan Satria dari kemarin
“iya dech, aku ngalah tapi masa kita nunggu duluar aja”
“Assalamualikum” salam Eko. Tapi baru salam yang ketiga akhirnya ada yang menjawab.
“waalaikum salam” jawab seorang wanita dari dalam rumah itu. Dan akhirnya pintunya terbuka.
“mau cari siapa yach?” Tanya seorang Mbak-mbak berjilbab yang membukakan pintu rumah itu.
“Retnonya ada mbak?” kata Eko pada Mbak itu.
“ada, teman kuliahnya yach?” Tanya Mbak itu. Dan mereka pun menganggugkan kepala.
“oh silahkan masuk nanti Mbak panggilin Retnonya!!” kata Mbak itu.
Tak lama kemudian Retno datang dengan membawakan minuman pada mereka.
“hai pa kabar?” sapa Retno pada mereka.
“baik, oh iy kenalin ini teman aku di bengkel sastra di kampus kita” kata Eko pada Retno yang sedikit penasaran pada Satria.
“Retno” kata Retno memperkenalakn dirinya.
“Satria” kata Satria. Tapi ditimpali sama Eko dengan omongan. “Satria Baja Hitam” sambil ketawa. Yang namanya Satria hanya terdiam marah pada Eko sadangkan Retno hanya senyum simpul yang manis.
Lalu terasa akrab, mereka pun mengobrol masalah kuliah karena hal ini sudah di rencanakan terlebih dahulu biar si Retno ga’ curiga pada kedatangan mereka.
Setelah sejam mereka bicara, lalu Satria dan Eko pamit pulang pada Mbak Riri, kakaknya Retno dan Retno juga. Di perjalanan mereka cukup senang, karena Retno tidak tahu rencana mereka.
“tapi aku ga’ percaya …” kata Satria memulai pembicaraan
“ga’ percaya apaan sich” Tanya Eko geram sama temannya.
“ga’ ini. Mbaknya jelek adiknya cantik bener, kayak lain produksi aja. Padahal mereka kan kandung”
“itu aja di bingungin. Sama kaya’ kamu dari dulu sampai sekarang belum punya pacar. Itu namanya rahasia Tuhan, Sat” kata Eko bijak pada Satria, ia hanya terdiam dengan perkataan barusan.
Keesokan harinya Satria bertemu dengan Retno yang lagi duduk di bangku taman yang ada di depan perpustakaan kampus mereka.
“hai Retno. Apa kabar?”
“baek, kamu gimana”
“baik juga. Tapi kenapa duduk sendirian aja, kok ga’ ada yang nemenin?” goda Satria pada Retno
“emangnya kenapa?” Tanya Retno balik bertanya pada Satria.
“engga’ bolehkan aku duduk di dekatmu. Nanti ada yang marah sama aku” kata Satria gugup di depan Retno sambil melihat sekeliling.
“emangnya siapa yang mau marah?” giliran Retno yang bingung dengan perkataan Satria
“pacarmu yang marah!!”
“aku sich belum punya pacar sampai sekarang. Mana ada sich orang yang mau pacaran sama cewek berjilbab kaya’ aku gini di kampus ini?” kata Retno mengeluarkan unek-uneknya
“saya mau!!!!” kata Satria spontan. Tapi cepat ia mengalihkan pembicaraan mereka. Karena Satria malu dengan omongannya itu, dan juga Retno bingung dengan perkataan Satria barusan.
Pada malam minggunya mereka pun memutuskan akan pergi ke rumah Retno. Tapi karena hari sudah terlalu larut malam, akhirnya mereka memutuskan tidak jadi pergi. Namun mereka hanya mutar-mutar keliling kota Palembang yang semarak dengan lampu hias malamnya.
“apa aku langsung bilang aja yah sama Retno?” kata Satria sewaktu mereka menuju rumah.
“jangan bodoh !!!!!. cari tahu dulu sifatnya yang lebih dalam baru kau bilang cinta padanya…..!. tapi bagaimana kalau dua minggu lagi kau tembak Retno?”
“Ok dua minggu lagi aku nembak Retno. Tapi aku ga’ sabaran nich!!”
“dasar ga’ sabaran” kata Eko dalam hati sambil menatap Satria yang girang.
Hari-hari menjelang dua minggu itu berjalan begitu cepat tanpa terasa. Satria dan Retno mulai bersahabat baik, baik dalam perkataannya maupun kegiatannya. Tapi belumlah genap du minggu. Retno mengirim surat pada Satria. Dan sewaktu Satria menerima surat itu, ia bingung lalu ia menemui Eko di Fakultasnya yaitu Fakultas Ekonomi.
Mereka pun sama-sama bingung akan apa isi surat itu. Dan mereka piker apakah Retno tahu kalau Satria suka sama dia. Dan menembak Satria duluan apa yang lain. Tapi dengan rasa penasaran yang semakin memburu akhirnya mereka membuka surat itu juga.
“aku tahu bahwa kau mencintaiku Satria. Dengan ketulusan hatimu yang bening kau akan selalu mencintaiku selama-lamanya …..” kata Retno dalam suratnya. Satria dan Eko hanya saling menatap tanpa sebuah kepastian.
“tapi aku tak mau membuat mu terluka terlalu jauh dalam mencintaiku, Sat. karena aku ………” tapi dengan rasa marah Satria setelah membaca kelanjutan isi surat itu. Ia mulai mencari Retni di kampusnya, setelah lelah mencari iapun menemukan Retno sedang duduk membaca buku di bangku taman. Tapi sebelum Satria mencari Retno, Eko dari temptanya berdiri berteriak pada Satria. “lakukanlah semua yang menurutmu paling baik……..”
“Retno aku mau bicara sama kamu!!!” kata Satria sambil menarik tangan cewek berjilbab itu.
“ada apa Sat?”
“nanti aku jelasin tapi tidak disini” kata Satria marah. Tapi sebelum Retno bertanya lagi, ia melihat surat yang ia kirimkan pada Satria di pegang Satria.
“aku tahu kau mau bicara apa padaku, masalah surat yang kau pegang itu kan” kata Retno menghentikan langkah Satria.
“iya, ada apa denganmu Ret. Padahal aku mau….” Kata Satria menangis
“maaf kan aku Sat. bukan maksudku tuk menyakitimu, tapi aku tak bisa menerima cintamu itu, Sat”
“Retno apa yang kau tulis dalam surat ini tidak benarkan”
“semuanya benar, Sat. aku tetap pada pendirian aku. Aku akan tetap tidak mau pacaran sebelum umurku belum genap dua puluh tahun.” Kata Retno tergugup pada Satria.
“tapi itu kan bukan takdir, yang tidak bisa kau rubahkan. Ret.” Kata Satria marah besar pada Retno.
“tak bisa Sat. namun ku sadari bahwa hal yang paling terpenting yang harus kau tahu. Bahwa cinta itu tak bisa saling memiliki tuk selamanya.”
“ah kau tuh dasar orang yang selalu kersa kepala dengan pendiriannya…..”
“bukan maksudku Sat….., Satria tunggu aku belum selesai bicara….”
Namun Satria pergi meninggalkan Retno dengan teriakannya. Tapi didalam hatinya ia merasa bersalah akan pembicaraannya tadi. Dan ia harap Retno mau memaafkannya. Dan ia akan menunggu angka dua puluh tahun itu akan bersinar terang.
Dan sekembalinya ia ketempat Eko, ia sayup-sayup mendengar sebuah lirik lagu yang keluar dari Ipodnya Eko. Adapun lagu itu :
KEMANA ANGIN BERHEMBUS
CREATED BY PADI
Kemanapun angin berhembus …..
Menuntun langkahku
Memahat takdir hidupku di sini……
Masih tertinggal wangi yang sempat
Engkau titipkan mengharumi kisah hidupku ini …..
Meski ku terbang jauh melintasi sang waktu
Kemanapun angin berhembus
Aku pasti akan kembali
Ku lukiskan indah wajahmu ….. di hamparan awan
Biar tak jemu kupandangi selalu
Kubiarkan semua cintamu ….. membius jiwaku
Yang memaksaku merindukan dirimu……
Meski langit memikatku
Dengan sejuta senyuman
Aku takkan tergoyahkan
Aku pasti akan kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar